Minggu, 08 Juni 2008

Artikel Hisab Ru'yat

Di manakah Tujuh Langit Itu?
T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Isra' : 1).
Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. An-Najm:13-18).
Ayat-ayat itu mengisahkan tentang peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Isra' adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mi'raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Di dalam kisah yang agak lebih rinci di dalam hadits disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh Nabi setelah mencapai langit ke tujuh. Dari kisah itu orang mungkin bertanya- tanya di manakah langit ke tujuh itu. Mungkin sekali ada yang mengira langit di atas itu berlapis-lapis sapai tujuh dan Sidratul Muntaha ada di lapisan teratas. Benarkah itu? Tulisan ini mencoba membahasnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
Sekilas Kisah Isra' Mi'raj
Di dalam beberapa hadits sahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan isra' dan mi'raj dengan menggunakan "buraq". Di dalam hadits hanya disebutkan bahwa buraq adalah 'binatang' berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Ini menunjukkan bahwa "kendaraan" yang membawa Nabi SAW dan Malaikat Jibril mempunyai kecepatan tinggi.
Apakah buraq sesungguhnya? Tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Cerita israiliyat yang menyatakan bahwa buraq itu seperti kuda bersayap berwajah wanita sama sekali tidak ada dasarnya. Sayangnya, gambaran ini sampai sekarang masih diikuti oleh sebagian masyarakat, teruatam di desa-desa.
Dengan buraq itu Nabi melakukan isra' dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Setelah melakukan salat dua rakaat dan meminum susu yang ditawarkan Malaikat Jibril Nabi melanjutkan perjalanan mi'raj ke Sidratul Muntaha.
Nabi SAW dalam perjalanan mi'raj mula-mula memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir.
Jibril juga mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib.
Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku."
Di manakah Tujuh Langit
Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan berjumlah tujuh. Kisah isra' mi'raj dan sebutan "sab'ah samawat" (tujuh langit) di dalam Al-Qur'an sering dijadikan alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.
Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam masalah ini. Dari segi sejarah, segi makna "tujuh langit", dan hakikat langit dalam kisah Isra' mi'raj.
Sejarah Tujuh Langit
Dari segi sejarah, orang-orang dahulu --jauh sebelum Al- Qur'an diturunkan-- memang berpendapat adanya tujuh lapis langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada gambaran seolah-olah benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang berbeda-beda.
Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus (bintang kejora) berada di langit ke tiga. Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta.
Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan. Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday adalah Sabtu. Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.
Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum'at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.
Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, ..., sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan, tsalatsah, arba'ah, khamsah, sittah, dan sab'ah. Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus, Jum'at, karena itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur'an yang menunjukkan adanya kewajiban salat Jum'at berjamaah.
Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian "Ahad" daripada "Minggu".
Makna Tujuh Langit
Langit (samaa' atau samawat) di dalam Al-Qur'an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.
Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya....
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah....
Jadi 'tujuh langit' semestinya difahami pula sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Tujuh langit pada Mi'raj
Kisah Isra' Mi'raj sejak lama telah minimbulkan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Demikian juga dengan hakikat langit. Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra' mi'raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi'raj itu peristiwa lahiriyah bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, nampaknya pengertian langit dalam kisah mi'raj itu memang bukan langit lahiriyah yang berisi bintang-bintang, tetapi langit ghaib.

Artikel Hisab Ru'yat

POSISI MATAHARI DAN PENENTUAN JADWAL SALAT
T. Djamaluddin

Dalam penentuan jadwal salat, data astronomi terpenting adalah posisi matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit. Fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi matahari adalah fajar (morning twilight), terbit, melintasi meridian, terbenam, dan senja (evening twilight). Dalam hal ini astronomi berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan dalam dalil agama (Al-Qur'an dan hadits Nabi) menjadi posisi matahari. Sebenarnya penafsiran itu belum seragam, tetapi karena masyarakat telah sepakat menerima data astronomi sebagai acuan, kriterianya relatif mudah disatukan.
Di dalam hadits disebutkan bahwa waktu shubuh adalah sejak terbit fajar shidiq (sebenarnya) sampai terbitnya matahari. Di dalam Al-Quran secara tak langsung disebutkan sejak meredupnya bintang-bintang (Q.S. 50:40). Maka secara astronomi fajar shidiq difahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), mulai munculnya cahaya di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada pada kira-kira 18 derajat di bawah horizon (jarak zenit z = 108o). Saaduddin Djambek mengambil pendapat bahwa fajar shidiq bila z = 110o, yang juga digunakan oleh Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI. Fajar shidiq itu disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Ini berbeda dengan apa yang disebut fajar kidzib (semu) -- dalam istilah astronomi disebut cahaya zodiak -- yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet.
Waktu dzhuhur adalah sejak matahari meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 menit setelah tengah hari. Untuk keperluan praktis, waktu tengah hari cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.
Dalam penentuan waktu asar, tidak ada kesepakatan karena fenomena yang dijadikan dasar pun tidak jelas. Dasar yang disebutkan di dalam hadits, Nabi SAW diajak shalat asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya. Walaupun dari dalil itu dapat disimpulkan bahwa awal waktu asar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, ini menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena seperti itu tidak bisa digeneralilasi sebab pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu dhuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang daripada tongkatnya. Ada yang berpendapat tanda masuk waktu asar bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya dan pendapat lain menyatakan harus ditambah dua kali panjang tongkat sebenarnya. Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu dzhuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin. Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI menggunakan rumusan: panjang bayangan waktu asar = bayangan waktu dzhuhur + tinggi bendanya; tan(za) = tan(zd) + 1. Saya berpendapat bahwa makna hadits itu dapat difahami sebagai waktu pertengahan antara dhuhur dan maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit matahari. Hal ini diperkuat dengan ungkapan 'salat pertengahan' dalam Al-Qur'an S. 2:238 yang ditafsirkan oleh banyak mufassir sebagai salat asar. Kalau pendapat ini yang digunakan, waktu salat asar akan lebih cepat sekitar 10 menit dari jadwal salat yang dibuat Departemen Agama.
Waktu maghrib berarti saat terbenamnya matahari. Matahari terbit atau berbenam didefinisikan secara astronomi bila jarak zenith z = 90o50' (the Astronomical almanac) atau z = 91o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah. Untuk penentuan waktu salat maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan salat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.
Waktu isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah di ufuk barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (Al-Qur'an S. 17:78). Dalam astronomi itu dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight) bila jarak zenit matahari z = 108o).
Posisi matahari telah dapat diformulasikan dalam algoritma sederhana dengan kecermatan plus-minus 2 menit untuk daerah lintang antara 65 derajat LU dan 65 derajat LS. Algoritma itu telah saya ubah menjadi program komputer sederhana penentuan jadwal salat. Untuk daerah dengan lintang lebih dari 48 derajat pada musim panas senja dan fajar bersambung (continous twilight) sehingga dalam program saya itu waktu isya dan shubuh diqiyaskan (disamakan) pada waktu normal sebelumnya.
(Penulis adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung)

Artikel Hisab Ru'yat

Sekilas Pengetahuan Kriteria Visibilitas Hilal
Oleh: Judhistira Aria Utama

Sebagai sebuah benda langit yang mengorbit bumi, bulan memiliki fase-fase. Ada fase bulan baru, kuartir pertama, bulan purnama, kuartir ketiga, dan fase bulan mati. Selang waktu yang diperlukan dari salah satu fase bulan untuk kembali ke fase yang sama, disebut periode sinodis. Jadi, dari bulan-baru ke bulan-baru berikutnya, atau purnama kembali ke purnama selanjutnya, adalah satu periode sinodis. Dengan acuan periode sinodis bulan inilah sistem penanggalan Hijriyah, yakni sistem penanggalan yang digunakan oleh umat Islam atas prakarsa Khalifah Umar r.a., dibangun, dan umur bulan di dalamnya bervariasi, 29 atau 30 hari.
Awal bulan dalam kalender Hijriyah ditandai dengan penampakan hilal, yakni bulan sabit pertama setelah konjungsi yang dapat dilihat dengan mata bugil. Dengan demikian, satu bulan dalam penanggalan Hijriyah dimulai dari penampakan hilal sampai penampakan hilal berikutnya. Bisa tidaknya hilal teramati bergantung pada waktu dan tempat. Kebergantungan terhadap waktu terkait dengan waktu terbenamnya matahari dan hilal serta usia hilal sendiri, yakni selang waktu penampakan hilal dari saat konjungsi; sedangkan kebergantungan terhadap tempat erat kaitannya dengan posisi geografis pengamat di muka bumi. Sebenarnya masih ada faktor lain yang turut mempengaruhi penampakan hilal, yaitu kecerlangan langit senja dan refraksi angkasa.
Cahaya hilal sangatlah lemah bila dibandingkan dengan cahaya matahari maupun cahaya senja, sehingga teramat sulit untuk bisa mengamati hilal yang masih berusia sangat muda. Semakin muda usia bulan semakin dekat ia dengan matahari; sebaliknya makin tua usianya, bulan makin menjauhi matahari. Pada saat konjungsi, bulan dan matahari berada di bujur ekliptika yang sama. Setelah lewat konjungsi, keduanya pun berangsur-angsur menjauh. Pada hilal yang sangat muda, beda azimut antara bulan dan matahari amat kecil (akibatnya jarak sudut antara keduanya pun kecil) demikian pula dengan luas hilal yang memantulkan sinar matahari. Karena dekatnya jarak-sudut bulan-matahari ini, hilal akan terbenam beberapa saat setelah matahari terbenam dan dengan tipisnya sabit hilal yang memantulkan sinar matahari berarti diperlukan latar yang gelap untuk bisa mengamati penampakan hilal. Jadi mengamati hilal bukanlah pekerjaan yang ringan, sebab meskipun hilal berada di atas ufuk saat matahari terbenam ia belum tentu bisa diamati. Sebabnya adalah cahaya hilal yang amat lemah itu kalah dengan cahaya senja. Artinya, agar mata manusia dapat mengamati hilal dengan baik diperlukan kondisi langit yang gelap. Persoalannya adalah makin muda usia hilal makin dekat kedudukannya dengan matahari, sehingga tidak ada cukup waktu untuk menunggu senja meredup agar hilal bisa teramati. Dengan kata lain hilal terburu terbenam saat langit masih cukup terang. Sebenarnya dengan makin meningkatnya usia hilal, kesulitan di atas dengan sendirinya akan teratasi sebab pada saat itu beda azimut bulan-matahari sudah membesar sehingga pengamat punya cukup waktu untuk menyaksikan hilal di atas ufuk setelah matahari terbenam maupun menunggu redupnya senja.
Angkasa bumi penuh dengan partikulat-partikulat berbagai ukuran. Debu-debu dan molekul uap air yang ada di angkasa dapat juga mempengaruhi penampakan hilal. Debu-debu dan molekul uap air di dekat horison dapat membiaskan cahaya hilal, mengurangi cahaya sampai dengan 40% dari yang seharusnya sampai ke mata pengamat. Keadaan menjadi lebih parah untuk hilal berusia sangat muda, sebab cahayanya bisa "habis" di jalan sebelum sampai ke mata kita. Karena kenyataan ini jugalah tempat yang lebih tinggi, meskipun mempunyai medan pandang yang lebih luas dan dalam ke horison, kurang menguntungkan sebab makin besar serapan cahaya hilalnya di horison bila dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Jadi, pokok permasalahannya adalah bagaimana hilal yang jelas-jelas di atas ufuk dapat diamati, dengan memperhatikan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Untuk itulah orang lantas membuat kriteria kenampakan (visibilitas) hilal untuk dapat menentukan permulaan bulan dalam kalender Hijriyah, yang juga erat kaitannya dengan penentuan waktu-waktu ibadah.
Faktor yang dominan dalam penampakan hilal adalah jarak sudut bulan-matahari dan tinggi hilal saat matahari terbenam. Orang-orang Babilonia kuno sudah memiliki kriteria sendiri untuk hal ini, bahwa hilal dapat dilihat saat hilal mencapai usia lebih dari 24 jam setelah konjungsi. Fotheringham, dengan menggunakan hasil pengamatan orang-orang Yunani, menurunkan kriteria visibilitas hilal berdasarkan beda azimut bulan-matahari dan tinggi hilal dari ufuk. Telaah Fotheringham ini kemudian dikembangkan oleh Maunder yang selanjutnya disempurnakan lagi dalam Indian Astronomical Ephemeris. Dari ketiga kriteria ini, untuk beda azimut yang membesar, tinggi hilal dari ufuk yang diperlukan agar hilal dapat teramati makin berkurang. Jadi tinggi hilal untuk beda azimut 10 derajat, lebih rendah daripada tinggi hilal bila beda azimutnya 5 derajat.
Seorang berkebangsaan Prancis, A. Danjon, pada tahun 1932 mengadakan telaah atas pengurangan efek tanduk bulan sabit dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jarak sudut bulan-matahari sebesar 7 derajat merupakan batas bawah hilal dapat teramati oleh mata bugil. Meskipun hasil di atas disempurnakan oleh M. Ilyas, peneliti berkebangsaan Malaysia, pada tahun 1988 yang menghasilkan angka 10,5 derajat untuk jarak sudut bulan-matahari pada beda azimut 0 derajat agar hilal dapat dilihat, keduanya sepakat untuk satu hal, bahwa hilal harus berada pada suatu ketinggian yang cukup untuk dapat dirukyat (diamati) oleh semua orang yang secara geografis berada dalam wilayah (regional) yang sama. Bagi para ahli hisab di Indonesia, ada dua kriteria yang dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan. Pertama, kriteria tinggi hilal yang memungkinkan hilal dapat dirukyat. Namun di antara ahli hisab sendiri belum ada kesepakatan tentang tinggi hilal yang dimaksud. Secara umum tinggi hilal adalah 2 derajat di atas ufuk saat matahari terbenam. Kedua, kriteria konjungsi sebelum matahari terbenam, yang merupakan kriteria khusus untuk daerah di sekitar khatulistiwa. Dengan kriteria ini, hanya perlu dibandingkan waktu terjadinya konjungsi dengan waktu terbenamnya matahari. Disepakati usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah konjungsi agar hilal dapat diamati.
Kriteria visibilitas hilal lainnya yang memiliki dasar-dasar ilmiah yang kokoh adalah yang ditetapkan oleh IICP (International Islamic Calendar Programme). Kriteria tersebut terbagi atas tiga bergantung pada segi yang diperhitungkan, yaitu pertama, kriteria posisi bulan dan matahari; batas-bawah tinggi hilal agar hilal dapat diamati adalah 4 derajat dengan syarat beda azimut bulan-matahari lebih besar dari 45 derajat, sedangkan bila beda azimutnya 0 derajat diperlukan ketinggian minimal 10,5 derajat. Kedua, kriteria beda waktu terbenam; hilal dapat teramati bila waktu terbenamnya minimal lebih lambat 40 menit dari waktu terbenamnya matahari. Untuk daerah di lintang tinggi, terutama di musim dingin, diperlukan beda waktu yang lebih besar. Ketiga, kriteria umur bulan dihitung sejak konjungsi; hilal dapat diamati bila berumur lebih dari 16 jam untuk pengamat di daerah tropis dan berumur lebih dari 20 jam untuk pengamat di lintang tinggi.
Dari apa yang tertulis di atas, tampak belum adanya kriteria yang benar-benar menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan untuk menganut kriteria yang memiliki dasar-dasar ilmiah (astronomis) yang kokoh dan teruji secara empiris sangat diperlukan, sehingga diharapkan terwujudnya sistem penanggalan yang seragam bagi umat Islam, khususnya yang menyangkut penentuan waktu-waktu ibadah. Tentu saja untuk dapat mencapai kesepakatan itu diperlukan kebesaran jiwa dalam menerima sistem penanggalan yang mungkin saja masih terasa "asing".
(Dikutip dari media isnet)

INFO RUKYATUL HILAL BULAN JUMADIL AKHIR

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Bersama ini diinformasikan bahwa BHR Propinsi DKI Jakarta, telah melakukan Kegiatan Rukyatul Hilal Awal Bulan Jum. Akhir 1429 H. sebagai berikut :
Waktu pelaksanaan : Kamis, 5 Juni 2008
Tempat : Lt. VII Gedung Kanwil Propinsi DKI Jakarta Jl. DI Panjaitan No.10 Jakarta Timur
Jumlah peserta : 20 Orang perukyat
Pembimbing : Bp. Cecep Nurwendaya .
(pakar Astronomi dari Planetarium dan Observatorium Jakarta).
Data Hilal : Ijtima : Rabu, 4 Juni 2008 Jam 2:23 WIB
Tinggi Hilal : 19 derajat 52 menit
Azimuth hilal (saat Mthr ghurub) : 301 derajat 54 menit
Hilal terbenam jam 19 : 24 WIB
Iluminasi : 4,17 %
Hasil Rukyat : HILAL TERLIHAT JAM 18:14 (selama kl. 4 menit) Pada Ketinggian 13
Derajat, dengan posisi Terlentang.

Wassalam
an. Tim BHR DKI
Syarief Hidayat, S.Ag